oleh

PENGACARA JADI TERSANGKA PENGADAAN BIBIT DI KABUPATEN OKU

“Pengacara Tersangka Kasus Pengadaan Bibit 49 Desa di OKU Sebut UU No 22 Tahun 2019 Kurang Tepat”

{KO}•com.-Sebelumnya pada hari Selasa tanggal 15 Desember 2022 lalu Kejaksaan Negeri Kabupaten Ogan Komering Ulu (Kejari OKU ) menetapkan 5 orang tersangka Tindak Pidana Korupsi, dalam kegiatan Pengadaan Bibit Buah Unggul Bersertifikat tidak berlabel di 49 Desa Kabupaten OKU.

 

Yang mana, pembelian bibit oleh 49 Kepala Desa tersebut menggunakan anggaran Dana Desa atau anggaran alokasi Dana Desa Tahun 2019.

 

Dari 5 orang tersangka yang ditetapkan dua orang diantaranya merupakan oknum ASN yakni inisial MAB (Camat) dan inisial RI yang bekerja disalah satu Dinas/Badan di Kabupaten OKU beserta tersangka lainnya inisial HS dan AH.

 

Sementara tersangka inisial RO selaku Direktur CV. Mitra Selayu pengadaan bibit sudah lebih dulu masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

 

Disebutkan pihak Kejaksaan, akibat perbuatan para tersangka menyebabkan kerugian Negara sebesar Rp 3,6 Miliar.

 

Selanjutnya Kejaksaan Negeri OKU menyebutkan tersangka tindak Pidana korupsi diatas melanggar Pasal 30 Undang-undang nomor 22 Tahun 2019, tentang sistem Budi daya pertanian berkelanjutan, setiap orang dilarang mengedarkan benih unggul yang tidak sesuai dengan standar mutu, tidak bersertifikat dan/atau tidak berlabel.

 

Terkait Undang-undang nomor 22 tahun 2019 diatas, dinilai kurang tepat oleh Heriyanto Serumpun, SH., selaku Kuasa Hukum salah satu dari 5 tersangka, inisial tersangka R.

BACA JUGA =  KAPOLDA SUMSEL MELEPAS KENDARAAN DINAS LAKUKAN PENDISTRIBUSIAN BERAS

 

Hal tersebut diungkapkan oleh pengacara asal Bandar Lampung ini saat terpantau oleh wartawan portal berita media ini bersama beberapa rekan awak media lainnya ketika menyerahkan barang bukti alat kerja kliennya yang diminta oleh Kejaksaan Negeri OKU, Jum’at (9/12/22).

 

“Ya, saya hari ini menyerahkan beberapa alat atau barang milik klien saya inisial R yang diminta oleh pihak Kejaksaan sebagai alat bukti. Diantaranya ada printer, laptop/komputer dan Poto copy surat surat perusahaan cv klien kami yang  berperan sebagai pemilik modal pembelian bibit yang ditawarkan oleh CV Mitra Selayu ke 49 Desa ,”ucapnya.

 

Namun, sambung Heriyanto, saat klien kami belum menerima keuntungan lantaran Direktur CV Mitra Selayu susah dihubungi, dan tiba-tiba klien kami mendapat kabar jika direktur CV Mitra Selayu sudah kabur, lantaran sudah menjadi DPO ,”ungkapnya.

 

Dikatakan Heriyanto, pihak Kejari OKU dinilai kurang tepat dalam menetapkan UU No 22 tahun 2019 kepada kliennya. Sebab, menurut Heriyanto, UU No 22 tahun 2019 belum disahkan ketika kliennya selaku pemilik modal pengadaan bibit saat bekerja dengan CV Mitra Selayu di bulan Februari sampai bulan Juli tahun 2019. Sementara UU No 22 tahun 2019 baru disahkan pada tanggal 18 Oktober 2019.

 

“Disini kita ketahui, dari bulan Februari sampai bulan Juli itu kan belum disahkan UU No 22 tahun 2029 itu. Berarti setelah 3 bulan kemudian atau tepatnya tanggal 18 Oktober 2019 baru disahkan UU tersebut. Tapi kenapa Kejaksaan menetapkan klien kami inisial R undang undang No 22 tahun 2019, ditambah selaku pemilik modal klien kami belum menerima keuntungan saat itu ,”urai Heriyanto.

BACA JUGA =  DANDIM DAN PRAJURIT JAJARAN KODIM 0430 BANYUASIN UCAPKAN SELAMAT HUT BHAYANGKARA KE 74

 

Lebih dalam disampaikan pengacara yang semasa mudanya pernah menjabat sebagai mantan kasi pidsus ini, agar pihak Kejaksaan Negeri OKU bisa memintai satu persatu ke 49 Kepala Desa untuk didengar keterangannya agar diketahui berapa jumlah dana yang diterima dari masing-masing desa.

 

“Agar diketahui dikeluarkan untuk apa, bagaimana pertanggungjawabannya, apakah ada potongan dan lain lainnya. Begitu pula Supplier bibit juga harus didengar keterangannya untuk mengetahui kualitas bibit ,”ungkap Heriyanto.

 

Semua, sambung dia, oknum-oknum yang berkaitan dengan kasus tersebut supaya didengar keterangannya untuk mengetahui kemana aliran dana tersebut, juga oknum yang menerima aliran dana.

 

“Sehingga dapat dikumpulkan untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang disebut Rp. 3,6 Miliar tersebut. Dengan begitu, klien saya R bisa mendapatkan keadilan kepastian hukum terkait UU No 22 tahun 2019 tadi, supaya kasus ini bisa diproses secara profesional ,”tandas Heriyanto.

 

Menyikapi hal tersebut, Kajari OKU melalui Kasi Pidsus Johan Ciptadi, SH., saat dimintai keterangan oleh wartawan di hari yang sama menyebutkan, terkait UU No 22 tahun 2019 akan diputuskan oleh Majelis Hakim.

BACA JUGA =  DIT RES NARKOBA POLDA SUMSEL MENGUNGKAP KASUS SEBANYAK 53 KASUS DAN 66 TERSANGKA

 

Sebab pihak Kejaksaan OKU selaku penyidik hanya menerapkan UU dan pasal sangkaan berdasarkan kesalahan yang dilanggar oleh tersangka.

 

“Mengenai UU No 22 tahun 2019 itu, nanti biarlah Majelis Hakim yang memutuskan. Kita selaku penyidik hanya menerapkan pasal sangkaan sesuai dari kegiatan tersangka itu sendiri. Kita hanya menerapkan UU/Pasal itu berdasarkan UU dan Pasal yang ada sebelumnya ,”ujar Johan Ciptadi yang tidak menyebutkan secara detail UU dan Pasal apa yang ada sebelumnya, yang dimaksud oleh Johan Ciptadi selaku Kasi Pidsus Kejari OKU.

 

Diungkapkan Johan Ciptadi, sejauh ini tahapan kasus pengadaan bibit yang telah menahan 4 tersangka masih sedang dalam proses finalisasi sebelum nantinya akan dilimpahkan ke Pengadilan.

 

“Sekarang tahapan kasusnya dalam proses finalisasi. Sekarang kan mereka masih tahanan penyidik, nanti setelah itu barulah pelimpahan proses tahap ke 2 ke penuntut umum ,”kata Kasi Pidsus.

 

Terkait ke 49 Kepala Desa yang terlibat dalam kasus pembelian bibit. Johan Ciptadi mengungkapkan, jika ke 49 Kepala Desa yang terlibat berstatus hanya sebagai korban.

 

Menurut hasil LHP inspektorat, ke 49 Desa tersebut adalah sebagai korban. Dan mereka semua sudah pernah kita panggil dimintai keterangan ,”tandas Kasi Pidsus Kejari OKU Johan Ciptadi.(Red***)

Komentar

News Feed